Berbakti kepada orang tua atau yang dikenal dengan istilah birrul walidain adalah kewajiban setiap lelaki dan wanita. Bagaimana kaitannya dengan ilmu Fiqih?
Birrul Walidain
Maksud dari birrul walidain adalah berbuat baik dengan ucapan lembut yang menunjukkan perasaan sayang dan cinta kepada orang tua dan meninggalkan ucapan kasar yang menimbulkan sikap antipati. Ucapan ini disertai dengan sikap hormat dan perbuatan baik kepada mereka baik dengan memberikan harta atau lainnya. Orang tua di sini mencakup ayah, ibu, kakek, nenek, dan semua leluhurnya dari pihak ayah maupun ibu.
Bakti kepada orang tua hukumnya wajib. Dan durhaka kepada keduanya hukumnya haram dan termasuk dalam dosa besar. Di dalam Al-Quran disebutkan:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS al Isra: 23)
Maksud berbuat baik adalah berbakti dan menghormati keduanya. Mengenai ayat ini, Sahabat Ibnu Abbas Ra mengatakan, “Maka janganlah engkau mengebas pakaianmu sehingga debunya dapat mengenai keduanya.” Urwah mengatakan, “Jangan engkau tidak melakukan apa yang mereka sukai.”
Cara Berbakti
Bakti kepada orang tua yang masih hidup dilakukan dengan selalu menjaga ucapan di hadapan mereka dan melakukan perbuatan yang membuat mereka senang selama itu bukan perbuatan maksiat.
Tidak boleh berkata-kata kasar atau keras ketika menjawab pertanyaan mereka, tidak menajamkan pandangan kepada mereka, dan tidak meninggikan suara melebihi suara mereka.
Tidak boleh menyakiti mereka dengan cacian atau makian. Mencaci mereka, walau pun secara tidak langsung, adalah dosa yang sangat besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنْ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Termasuk dosa besar adalah jika seorang mencaci kedua orang-tuanya.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana mungkin seorang mencaci kedua orang-tuanya?” Nabi bersabda, “Mungkin saja, yaitu dengan mencaci ayah orang lain sehingga orang itu mencaci ayahnya atau dengan mencaci ibu orang lain sehingga orang itu pun mencaci ibunya.” (HR Muslim)
Di antara penyempurna bakti adalah menjaga adab di hadapan mereka. Jangan berjalan sejajar dengan mereka apalagi di depan mereka kecuali jika diperlukan seperti untuk menuntun atau membukakan pintu. Panggillah mereka dengan panggilan kesukaan mereka seperti “ibu” atau “ayah” misalnya. Jangan memanggil mereka dengan nama. Selain tidak etis, memanggil nama kepada orang tua dapat menyebabkan kefakiran sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah melihat seorang tua berjalan bersama seorang pemuda. Maka Nabi ﷺ bertanya kepada pemuda itu, “Siapakah orang tua ini?” Ia menjawab, “Ayahku.” Lalu Nabi ﷺ bersabda:
لَا تَمْشِ أَمَامَهُ وَلَا تُسَتْسَبْ لَهُ وَلَا تَجْلِسْ قَبْلَهُ وَلَا تَدْعُهُ بِاسْمِهِ
Janganlah engkau berjalan di depannya, janganlah melakukan hal yang menjengkelkan ayahmu, jangan duduk sebelum ia duduk dan jangan engau panggil dia dengan namanya. (HR Ibnu Sunni)
Apabila di masa tua orang tua menjadi tanggungan anaknya dan tidak ada yang merawat kecuali dia, maka ia diperintahkan untuk memperlakuan mereka dengan perlakuan yang lembut. Jangan pernah mengatakan hal yang menyakiti hati mereka ketika melihat hal yang ia rasakan menjijikan seperti ketika mereka muntah atau buang air kecil di kasur misalnya walau pun dengan ucapan “uff” terlebih yang lebih dari itu.
Sedangkan bentuk bakti bagi orang tua yang telah wafat adalah dengan mendoakan mereka, memohonkan ampun bagi mereka, dan membina hubungan baik dengan sahabat serta kerabat mereka. Pernah seorang sahabat bertanya kepada Nabi ﷺ, “Apakah masih ada cara berbakti kepada orang tua setelah mereka wafat?” Nabi ﷺ menjawab:
نَعَمْ خِصَالٌ أَرْبَعَةٌ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا رَحِمَ لَكَ إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا فَهُوَ الَّذِي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ مَوْتِهِمَا
Masih ada, yaitu dengan melakukan nempat hal: Mendoakan mereka, memohonkan ampun untuk mereka, menunaikan janji mereka, memuliakan sahabat mereka dan menyambung hubungan silaturahim yang tidak tersambung kecuali oleh mereka. Itulah yang dapat engkau lakukan untuk berbakti setelah kematian mereka berdua. (HR Ahmad)
Diantaranya juga adalah bersedekah atas nama orang tua yang sudah wafat, membacakan al-Quran untuk mereka, dan lainnya.
Orang Tua Non-Muslim
Anak wajib berbakti kepada orang tua walau pun mereka adalah non muslim. Seorang anak muslim harus memperlakukan orang tuanya yang non muslim dengan lembut dan patuh selama mereka tidak memerintahkan perbuatan maksiat atau kekufuran.
Seorang Sahabat wanita bernama Asma pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, “Ibuku datang kepadaku dan dia adalah orang yang menolak Islam, Apakah aku harus membina hubungan baik dengannya?” Nabi ﷺ bersbada:
نَعَمْ صِلِيْ أُمَّكِ
Ya, berbuat baiklah kepada Ibumu. (HR Bukhari)
Mendoakan Orang Tua
Mendoakan orang tua termasuk bentuk bakti kepada keduanya. Imam Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Siapa yang shalat lima waktu maka ia telah bersyukur kepada Allah dan siapa yang berdoa bagi kedua orang tua setiap selepas shalat maka ia telah bersyukur kepada keduanya.”
Yang perlu diperhatikan, bahwa dalam masalah doa ada perbedaan hukum antara orang tua muslim dan non muslim. Anak dianjurkan mendoakan orang tua muslim baik semasa hidupnya atau setelah wafatnya. Ia diperbolehkan mendoakan segala hal yang berhubungan dengan dunia seperti kesehatan, kekayaan dan lainnya ataupun doa yang berhubungan dengan akhirat seperti memohonan ampunan, rahmat, surga dan lain sebagainya.
Sedangkan bagi orang tua non muslim, anak hanya boleh mendoakannya ketika masih hidup dengan doa yang berhubungan dengan urusan dunia saja. Anak dilarang mendoakan hal yang berhubungan dengan akhirat kecuali permohonan agar mereka mendapatkan hidayah. Jadi tidak boleh anak mendoakan agar dosa orang tua non muslimnya diampuni atau agar mereka dirahmati sebab ampunan dan rahmat adalah khusus bagi umat Islam. Dikecualikan jika ia menggantungkannya dengan Islam, seperti dengan mengatakan, “Ampunilah dosa kedua orang tua kami jika mereka masuk Islam.”
Setelah wafat, haram mendoakan orang tua yang mati dalam keadaan kafir. Larangan ini berdasarkan firman Allah ﷻ:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن يَسۡتَغۡفِرُواْ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓاْ أُوْلِي قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَحِيمِ ١١٣
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS at Taubah: 113)
Haram pula bersedekah atas nama orang tua non muslim yang sudah wafat, atau ibadah lain yang pahalanya ditujukan untuk mereka.
Ayah atau Ibu?
Jika memungkinkan untuk patuh kepada kedua orang tua secara bersamaan dalam sesuatu yang bukan maksiat maka itu harus dilakukan. Apabila keinginan ibu dan ayah berbeda sekiranya jika kita mematuhi salah satunya maka kita akan mengecewakan yang lain maka yang harus didahulukan adalah ibu selama keinginannya itu bukan maksiat, tentunya dengan tetap menjaga sikap baik kepada ayah. Berbakti kepada ibu memiliki nilai lebih dikarenakan perannya yang sangat besar dalam menanggung masa kehamilan, perihnya melahirkan, menyusui, mendidik dan memelihara anak bersama ayah. Oleh sebab itu ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah ﷺ:
“Siapa yang lebih berhak mendapatkan perlakuan terbaik dariku?”
Nabi SAW bersabda, “Ibumu”
“Kemudian siapa?”
“Ibumu”
“Kemudian siapa?”
“Ibumu .”
“Kemudian siapa?”
“Ayahmu.” (HR Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa ibu lebih didahulukan dari ayah dalam bakti. Oleh sebab itu, apabila kedua orang tua tidak mampu dan anak hanya mampu menafkahi salah satunya saja, maka ibu yang lebih didahulukan untuk diberikan nafkah.
Khusus bagi wanita, suami memiliki hak yang lebih besar daripada kedua orang-tuanya. Sayidah Aisyah RA pernah bertanya kepada Nabi ﷺ:
أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقاًّ عَلَى الْمَرْأَةِ؟ قَالَ: زَوْجُهَا، قُلْتُ: فَعَلَى الرَّجُلِ؟ قَالَ: أُمُّهُ
“Siapa manusia yang paling besar haknya bagi wanita?” Nabi ﷺ menjawab, “Suaminya.” Sayidah Aisyah kembali bertanya, “Bagaimana dengan lelaki?” Nabi ﷺ menjawab, “Ibunya.” (HR al-Hakim)
Jadi apabila keinginan orang tua berbeda dengan keinginan suami, wanita harus lebih mendahulukan suaminya selama itu bukan maksiat. Ini tentunya dengan tetap menjaga sikap baik terhadap orang tua.
Durhaka
Semua ulama sepakat bahwa durhaka kepada orang tua adalah termasuk dosa yang paling besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
Maukah kalian aku kabarkan mengenai tiga dosa terbesar? Yaitu menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua dan sumpah palsu. (HR Muslim)
Para ulama berselisih mengenai batasan durhaka yang tergolong dosa besar. Sebagian mereka mengatakan yang dikatakan durhaka adalah sesuatu yang dapat membuat orang tua sangat tersakiti sebagian lagi mengatakan yang membuat orang tua tersakiti walau pun ringan. Dikecualikan jika sesuatu itu adalah kewajibannya, maka anak tidak durhaka jika menyakiti hati orang tua karena melakukan kewajibannya.
Jadi jika orang tua memerintahkan kemaksiatan seperti makan babi misalnya, atau memerintahkan untuk meninggalkan kewajiban maka anak wajib untuk tidak patuh. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak ada ketaatan bagi mahluk dalam bermaksiat kepada Allah azza wa jalla. (HR Ahmad)
Sedangkan jika orang tua memerintahkan untuk melakukan perbuatan makruh maka --menurut kebanyakan ulama-- anak wajib mematuhinya apabila mereka akan sangat tersakiti jika ia tidak melakukannya. Imam Ghazali mengatakan, apabila harta orang tua adalah harta syubhat (yang makruh digunakan) kemudian orang tua memerintahkan anak untuk makan dari harta itu maka hendaknya ia menolak dengan lembut, apabila ia tidak mampu menolak, maka makanlah sesedikit mungkin dengan cara menyedikitkan suapan dan melamakan masa mengunyah. Jika orang tua memberikanya pakaian dari harta syubhat dan akan sangat tersakiti jika ia menolak,pakailah dihadapan mereka dan segera lepaskan ketika mereka tidak ada.
Jika mereka memerintahan sesuatu yang mubah seperti mencuci piring, merapikan lemari, menghangatkan makanan, membuat teh atau yang semisalnya maka anak wajib patuh apabila penolakannya menyebabkan mereka sangat tersakiti. Jika penolakannya tidak terlalu mengecewakan mereka, maka anak tidak wajib patuh. Walau pun tidak wajib, dianjurkan untuk tetap melakukannya untuk membuat mereka senang.
Termasuk bentuk kedurhakaan adalah menolak memberikan nafkah kepada orang tua yang miskin. Apabila orang tua telah berkecukupan, maka anak tidak wajib memberikan nafkah. Walau pun demikian, dianjurkan untuk tetap memberikan apa yang membuat mereka senang.
Izin Bepergian
Wanita yang bersuami tidak boleh keluar tanpa izin dari suaminya. Sedangkan yang tidak bersuami maka tidak boleh melakukan perjalanan mubah seperti haji sunnah, atau ziarah misalnya kecuali dengan izin orang tua dan tentunya harus dengan mahram dan aman dari fitnah.
Bagaimana dengan bepergian untuk menuntut ilmu syariat? Jika yang dituntut adalah ilmu yang hukumnya sunnah maka hukumnya sama dengan di atas. Namun, jika yang dituntut adalah ilmu yang wajib diketahui baik wajib secara fardhu ain ataupun fardhu kifayah maka, anak boleh pergi walau pun tidak dengan persetujuan orang tua. Tentu saja yang lebih baik ia tetap berusaha melunakan hati orang tua sampai setuju. Bolehnya pergi tanpa persetujuan ini ada syaratnya, yaitu jalannya haruslah aman, di tempat tinggalnya tidak ada orang yang bisa mengajarkanya, atau ada tetapi pengajaran yang berada di luar kota lebih baik, ia haruslah orang yang cerdas (rasyidah), dan tentu saja harus dengan mahram dan aman dari fitnah.
Perintah yang Berat Dilakukan
Anak tidak wajib mematuhi perintah yang berat untuk dilakukan, seperti perintah orang tua untuk bercerai dengan pasangannya, perintah untuk menjual harta yang ia sukai, dan lain sebagainya. Menurut Imam Ibnu Hajar, termasuk perintah yang tidak wajib dilakukan adalah perintah yang timbul dari sekedar dorongan nafsu dan kebodohan orang tua seperti perintah orang tua untuk menceraikan pasangan hanya karena tidak suka belaka, atau perintah untuk meninggalkan sikap sederhana (zuhud) hanya karena kasihan belaka. Meski demikian tentu anak harus tetap menjaga ucapan dan sikap kepada orang tuanya.
Panggilan orang tua
Anak wajib menyahut panggilan orang tua apabila orang tua akan sangat tersakiti jika panggilannya diabaikan. Apabila anak sedang melakukan shalat sunnah ketika orang tua memanggil, ia harus segera menjawab dan memutus shalatnya jika orang tua akan sangat kecewa diabaikan. Lain halnya apabila anak sedang melaksanakan shalat wajib, ketika itu, ia tidak boleh memutus shalatnya dan tidak boleh pula menyahutnya.
Demikian sekilas mengenai fiqih bakti kepada orang tua, semoga bermanfaat.
Blog Tarbiyah Wadda’wah Rabithah Alawiyah
https://rabithahalawiyah.org/blogs