Sejak awal munculnya, di pertengahan abad kedua Hijriyah, Tasawuf dikenal sebagai jalan mereka yang bersungguh-sungguh menerapkan al-Quran dan Sunah, mematikan bidah dan mendakwahkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Semua ulama di masa itu dan masa-masa selanjutnya memuji para imam tasawuf dengan pujian yang agung. Kemudian barulah di abad ke enam Hijriyah mulai muncul suara-suara mengecilkan Tasawuf, menganggapnya sebagai bidah dan khurafat, namun sebagaimana dikatakan Imam Syatibi, suara yang mengecilkan Tasawuf hanya muncul dari orang yang tidak mengerti dengan benar hakikat Tasawuf. Tasawuf selalu berdasar kepada al-Quran dan sunnah.
Sumber Ajaran Tasawuf
Tasawuf adalah satu disiplin ilmu yang fokus pada pendidikan akhlak dan amal, tak jauh beda dengan ilmu fiqih, tafsir, hadits atau ilmu syariat lainnya. Semua ilmu itu diajarkan secara terperinci oleh Baginda Rasulullah ﷺ kepada para sahabat kemudian dari sahabat kepada tabiin. Demi melestarikannya, generasi setelah tabiin mengkodifikasi ilmu secara parsial ke dalam fan-fan tersendiri, mulailah muncul istilah-istilah baru dalam syariat. Mereka yang fokus pada ilmu hadits diberi istilah muhadits, yang fokus pada ilmu tafsir diistilahi dengan mufasir, ahli gramatikal arab dijuluki nahwiy, ahli fiqih dinamakan dengan faqih dan mereka yang memfokuskan untuk mempelajari pendidikan akhlak dan mengamalkannya dinamakan sufi atau mutashowif (yang bertasawuf).
Semua itu adalah istilah baru, namun intinya sudah ada bahkan diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan diterapkan di masa sahabat dan tabiin. Jika ada yang menganggap Tasawuf sesat hanya karena istilah yang digunakan di dalamnya tidak digunakan oleh Rasulullah ﷺ maka hal yang sama bisa ditujukan kepada ilmu tafsir, hadits, fiqih dan ilmu-ilmu syariat lain yang sarat dengan istilah baru. Faktanya, tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian sebab mereka memahami bahwa yang baru hanya istilah sedangkan kandungannya sudah ada sejak awal masa kedatangan Islam.
Sufiyah Adalah Ahlu Sunnah Wal Jamaah
Ulama berbeda pendapat mengenai asal kata Tasawuf, sebagian menyatakan ia diambil dari kata shuf (kain wol) yang biasa dipakai para ahli ibadah yang tidak menyukai kemewahan. Ada yang mengatakan ia diambil dari kata sifat, shaf (barisan), shofwah (pilihan), shofa (kesucian) dan lainnya. Pada intinya, Tasawuf–sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshori–adalah ilmu yang dengannya dapat diketahui tata-cara mensucikan diri, memperbaiki akhlak dan memakmurkan dzohir dan batin dengan ibadah untuk mencapai kebahagiaan abadi. Dengan kata lain Tasawuf adalah ilmu tentang akhlak.
Misi Tasawuf yang terutama adalah memperbaiki akhlak, ini identik dengan misi utama Rasulullah ﷺ yang pernah bersabda: “Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Ahmad)
Al-Katani lebih tegas lagi menyatakan bahwa Tasawuf adalah akhlak itu sendiri, siapa yang lebih berakhlak maka ia lebih bertasawuf. Dari ucapan ini dapat disimpulkan bahwa Rasulullah ﷺ sebenarnya manusia yang paling bertasawuf sebab beliaulah yang paling mulia akhlaknya. Tak heran jika Buya Hamka pernah mengatakan, “Tasauf Islami telah timbul sejak timbulnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Disauk airnya dari dalam Qur’an sendiri. (Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, Buya Hamka).
Mereka yang mempelajari Tasawuf lebih dalam akan mendapati jalan Tasawuf sebagai jalan yang ditempuh para imam Ahlu sunah wal jamaah. Junaid al Baghdadi, imam dan penyebar ajaran Tasawuf pernah berkata, “Siapa yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits-hadits Rasulullah maka orang tersebut jangat diikuti, karena ilmu kita ini (Tasawuf) diikat dengan al-Qur’an dan Sunah.”
Istilah sufi (orang yang bertasawuf) sendiri adalah istilah khusus bagi mereka yang menghindari bidah dan memiliki semangat tinggi dalam Ibadah. Syaikh Abul Qosim al-Qusyairi dalam risalahnya mengatakan, mulanya orang terbaik setelah Rasulullah ﷺ digelari dengan sahabat, kemudian setelah itu tabiin, lalu atbaut tabiin (pengikut tabiin). Setelah generasi mereka, tokoh yang memiliki semangat tinggi dalam agamanya dinamakan zuhad (ahli zuhud) dan `ibad (ahli ibadah). Ketika ajaran bidah mulai menyebar, setiap golongan mengaku memiliki zuhad tersendiri maka dikhususkanlah sebutan sufi bagi tokoh ahlu sunah yang memiliki semangat beribadah tinggi. Sejak itu sebutan ini terkenal bagi semua tokoh ahlu sunah setelah abad ke-2 Hijriyah.
Tidak jauh berbeda dengan paparan al-Qusyairi, Ibnu Khaldun dalam muqodimahnya menyatakan bahwa ilmu Tasawuf termasuk ilmu baru namun ia merupakan jalan yang ditempuh oleh para sahabat, tabiin dan pengikut mereka. Asasnya adalah melazimi ibadah, memfokuskan diri untuk Allah, berpaling dari dunia dan keindahannya serta tidak mencintai harta dan kedudukan. Sifat ini adalah sifat yang dimiliki oleh hampir semua sahabat dan tabiin. Setelah abad kedua ketika banyak muslim yang lebih mementingkan dunia maka dikhususkanlah gelar sufiyah bagi mereka yang mengedepankan ibadah.
Semua paparan ini menunjukkan bahwa Tasawuf merupakan jalan para imam ahlu sunnah yang dikenal sejak masa salaf yakni di awal abad ke 3 H. Para sahabat dan tabiin meskipun tidak dinamakan dengan sufi namun jalan mereka adalah jalan kaum sufi. Yang dimaksud dengan Tasawuf adalah bagaimana cara seorang hamba hidup hanya untuk Tuhannya, menghiasi diri dengan zuhud, menetapi ibadah, dan menghadap kepada Allah dengan ruh dan hati di setiap waktu. Dan semua itu adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat dan salaf.
Bukti lain bahwa Tasawuf telah diterapkan di masa sahabat adalah dengan melihat dasar-dasar ilmu Tasawuf. Imam Nawawi menyebutkan :
“Dasar Tasawuf adalah lima hal: Bertakwa kepada Allah dalam kesendirian maupun dalam keramaian, mengikuti sunah dalam perkataan maupun perbuatan, berpaling dari makhluk ketika berada di hadapan atau pun dibelakang, rela dengan pemberian Allah baik yang sedikit maupun yang banyak serta kembali kepada Allah dalam keadaan susah maupun senang.”
Lima hal yang menjadi dasar ilmu Tasawuf itu adalah kandungan syariat yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan diterapkan di kalangan sahabat dan para imam kaum muslimin.
Kaum orientalis dan mereka yang tidak mengerti Tasawuf dengan benar telah salah memahami ketika mengatakan bahwa Tasawuf Islam tidak jauh beda dengan kerahiban Budha, kependetaan Nasrani dan India. Kesimpulan mereka itu adalah fitnah yang menodai Tasawuf agar umat Islam menganggapnya sebagai filsafat yang sesat padahal sebenarnya Tasawuf sebagaimana dikatakan oleh salah satu pelopornya, Imam Junaid, selalu dalam batas Kitab dan Sunah. Fitnah mereka kepada sufi diperkirakan lahir karena ketakutan kepada kekuatan sufi yang terbukti sebagai kekuatan yang selalu siap membela dan menyebarkan Islam dari masa ke masa.
Sejarah membuktikan bahwa tersebarnya Islam secara damai ke pedalaman Cina, India, Indonesia, Afrika merupakan buah perjuangan kaum sufi. Kita tidak akan temukan satu negeri yang dimasuki Islam secara utuh kecuali pasti ada peran kaum sufi di sana. Bahkan tidak ada satu peperangan jihad melawan kaum kafir dan pembangkang kecuali dipimpin oleh kaum sufi yang mensucikan hatinya. Contoh paling sederhana, Baitul Maqdis tidak kembali kepada kekuasaan Islam dari kaum salibis kecuali setelah datangnya Shalahudin al Ayubi yang merupakan tokoh tarikat sufi. Al-Maududi sebagaimana dinukilkan dalam kitab Haqaiq ‘An Tasawuf menyatakan mengenai ini,
“Sesungguhnya mereka (ahli Tasawuf) mempunyai jasa yang besar dalam penyebaran Islam di daerah-daerah yang jauh terpencil yang belum ditakluki oleh tentara-tentara Islam atau yang belum dapat ditundukkan di bawah hukum Islam. Di tangan mereka itulah, Islam tersebar di Afrika, Indonesia, pulau-pulau di Lautan Hindia, Cina dan India.”
Sanjungan ulama kepada Tasawuf
Melihat mulianya ilmu Tasawuf, tidak heran jika banyak ulama memuji dan bahkan mempelajari serta menerapkan pada kehidupannya. Imam Abu Hanifah merupakan murid dari Imam Jakfar ash Shadiq yang tidak diragukan termasuk tokoh dan rujukan kaum sufi. Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Jika tidak karena dua tahun, Nu`man (Abu Hanifah) pasti celaka.” Ini karena dalam dua tahun tersebut beliau mempelajari ilmu spiritual kepada Imam Jakfar ash-Shadiq sehingga ia dapat mengetahui kebenaran.
Imam Malik memiliki pameo yang sangat terkenal di kalangan ulama, “Siapa yang mempelajari fiqih tanpa berTasawuf maka ia akan menjadi fasik. Siapa yang berTasawuf tanpa mempelajari fiqih ia akan menjadi zindiq (sesat) dan siapa yang mengumpulkan keduanya ia akan mendapatkan hakikat kebenaran.”
Ucapan yang memotivasi untuk tidak hanya mempelajari ilmu hukum saja namun juga harus dibarengi dengan berTasawuf (berakhlak).
Senada dengan ini perkataan Imam Syafii dalam diwannya, “Jadilah seorang ahli fiqih yang sufi dan jangan engkau menjadi salah satunya. Sungguh dengan hak Allah aku menasihatimu. Sebab seorang faqih saja (tanpa Tasawuf) hatinya keras dan tidak dapat merasakan nikmatnya takwa. Sedangkan sufi saja (tanpa fiqih) ia sangat bodoh, orang bodoh tidak akan menjadi baik.”
Fiqih dan Tasawuf merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Seorang yang hanya menjadi sufi namun tidak mempelajari fiqih ia akan menjadi sangat bodoh. Ucapan Imam Syafii ini adalah penjelasan dari ucapan beliau lainnya yang sering dijadikan senjata kaum pembenci Tasawuf, yaitu :
“Jika seorang bertasawuf di pagi hari maka tidaklah datang waktu dzuhur kecuali engkau mendapatinya sebagai orang dungu.”
Atau perkataannya :
“Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya terkumpul empat perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.”
Celaan Imam Syafii ini hanya ditujukan bagi mereka yang hanya bertasawuf tanpa mempelajari ilmu lainnya. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Baihaqi, ditujukan bagi sufi gadungan yang memiliki sifat seperti itu. Adapun para sufi yang murni kesufiannya yang bertawakal dan berlandaskan syariat dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah kepada makhluk, Imam Syafii menyanjung tinggi mereka dan mengambil ilmu dari mereka. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi bahwa Imam Syafii pernah berkata, “Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua kalimat ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman (penjagaan), engkau tidak mampu” (Maksudnya ketidakmampuan itu terkadang menjaga kita dari perbuatan dosa).
Bahkan al Ajluni dalam Kasyful Khofa menukilkan perkataan Imam Syafii,“Aku mencintai tiga hal dari dunia kalian: meninggalkan sikap berlebihan, berlaku lemah-lembut dalam bergaul dengan makhluk, dan mengikuti jalan sufi”
Imam Ahmad bin Hanbal sebelum mengenal kaum sufi menasihati putranya untuk tidak bergaul dengan kaum sufi karena mengira mereka adalah kaum yang bodoh namun setelah beliau bersahabat dengan Abu Hamzah al Baghdadi yang sufi ia menasihati anaknya, “Wahai anakku, hendaknya kamu bergaul dengan kaum ini (sufi) sebab mereka melebihi kita dengan banyaknya ilmu, muroqobah (merasa diawasi Allah), takut, zuhud, dan semangat tinggi”
Beliau juga berkata, “Aku tidak mengetahui kaum yang lebih utama daripada mereka (kaum sufi).” Seorang mengatakan , “Tapi Mereka mendengarkan syair dan terlarut di dalamnya.” Imam Ahmad berkata, “Biarkan mereka bersenang-senang bersama Allah beberapa saat.”
Masih banyak perkataan ulama dalam memuji Tasawuf yang tidak mungkin kami sebut semua di sini.
Dewasa ini banyak kaum muslim memiliki persepsi salah mengenai Tasawuf, Tasawuf dianggap sebagai ajaran untuk bisa terbang di udara, berjalan di atas air, kebal senjata dan lainnya. Semua hal itu bukanlah bagian dari Tasawuf, Tasawuf hanya membahas masalah akhlak, yaitu jalan untuk membersihkan hati dari sifat tercela dan mengisinya dengan sifat mulia. Semua ajaran Tasawuf bersumber dari al-Quran dan Hadits. Apabila ada sesuatu yang dinisbatkan kepada Tasawuf namun bertentangan dengan syariat maka ia bukanlah bagian dari Tasawuf. Imam Suyuthi menegaskan, “Aku tidak mendapati seorang sufi hakiki berkata dengan satu pun dari hal yang melanggar syariat. Yang mengatakannya hanyalah pelaku bidah yang melampaui batas dan mengaku sebagai sufi padahal bukan.”
Sufi sejati adalah yang menjaga syariat Allah, Betapa benarnya ucapan Abu Yazid al-Busthami, “Jika kamu melihat seseorang yang bisa terbang di udara, maka janganlah tertipu sehingga kamu dapat menilai kesungguhannya dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah, dalam menjaga batas-batas hukum Allah, dan dalam melaksanakan syariat Allah.” Itulah jalan Tasawuf yang sesungguhnya, Jalan al-Quran dan Sunah, Jalan ahlu sunah wal jamaah.
Blog Tarbiyah Wadda’wah Rabithah Alawiyah
https://rabithahalawiyah.org/blogs